Labels


Shalat dan Otak Manusia

08.55 Posted In Edit This 0 Comments »
Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa menghadap Allah (meninggal dunia),sedangkan ia biasa
melalaikan Shalatnya, maka Allah tidak mempedulikan sedikit-pun perbuatan baiknya (yang
telah ia kerjakan tsb)". Hadist RiwayatTabrani.
Sholat itu Bikin Otak Kita Sehat" Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu dan Berkurbanlah' (Q.S Al-Kautsar:2)
Sebuah bukti bahwa keterbatasan otak manusia tidak mampu mengetahui semua rahasia atas rahmat, nikmat, anugrah yang diberikan oleh ALLAH kepadanya.

Haruskah kita menunggu untuk bisa masuk diakal kita ???????

Seorang Doktor di Amerika ( Dr. Fidelma) telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang ditemuinya di dalam penyelidikannya. Ia amat kagum dengan penemuan tersebut sehingga tidak dapat diterima oleh akal fikiran.
Dia adalah seorang Doktor Neurologi. Setelah memeluk Islam dia amat yakin pengobatan secara Islam dan oleh sebab itu itu telah membukasebuah klinik yang bernama "Pengobatan Melalui Al Qur'an" Kajian pengobatan melalui Al-Quran menggunakan obat-obatan yang digunakan seperti yang terdapat didalam Al-Quran. Di antara berpuasa, madu, biji hitam (Jadam) dan sebagainya.
Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk Islam maka Doktor tersebut memberitahu bahwa sewaktu kajian saraf yang dilakukan, terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia ini tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara yang lebih normal.
Setelah membuat kajian yang memakan waktu akkhirnya dia menemukan bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak tersebut melainkan ketika seseorang tersebut bersembahyang yaitu ketika sujud. Urat tersebut memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini artinya darah akan memasuki bagian urat tersebut mengikut kadar sembahyang waktu yang diwajibkan oleh Islam. Begitulah keagungan ciptaan Allah.
Jadi barang siapa yang tidak menunaikan sembahyang maka otak tidak dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal. Oleh karena itu kejadian manusia ini sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam "sepenuhnya" karena Sifat fitrah kejadiannya memang telah dikaitkan oleh Allah dengan agamanya yang indah ini.

Kesimpulannya :

Makhluk Allah yang bergelar manusia yang tidak bersembahyang walaupun akal mereka berfungsi secara normal tetapi sebenarnya di dalam sesuatu keadaan mereka akan hilang pertimbangan di dalam membuat keputusan secara normal. Justru itu tidak heranlah manusia ini kadang-kadang tidak segan-segan untuk melakukan hal hal yang bertentangan dengan fitrah kejadiannya walaupun akal mereka mengetahui perkara yang akan dilakukan tersebut adalah tidak sesuai dengan kehendak mereka karena otak tidak bisa untuk mempertimbangkan Secara lebih normal.
Maka tidak heranlah timbul bermacam-macam gejala-gejala sosial Masyarakat saat ini.

(Sumber : National Geographic 2002 Road to Mecca)

MARI KITA PERBANYAK SUJUD
AGAR OTAK KITA SEHAT & SEGAR SELALU

"Dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu , bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, "Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada
shalat baginya, terkecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama)'." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)

"Sesungguhnya kami telah menyaksikan, bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjama'ah (di masa kami) kecuali orang munafiq yang telah jelas kemunafikannya, atau
orang sakit". (HR Muslim)

"Dari Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu, ia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam mengajari kami sunnah-sunnah (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran) dan di
antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan di dalamnya." (HR. Muslim)

Pak Tua Itu

10.19 Edit This 0 Comments »

oleh M.Harmin Abdul Aziz Senin, 06/04/2009 08:04 WIB

“Safari ba’iid wazdaadi la yuballighuni . Waquwwati dho’fun walmautu yathlubuni.Wali baqooya zdunubun lastu a’lamuha. Allah a’lamuha fissirri wal‘alaani.”

“Perjalananku masih jauh, sedang bekalku tidak mencukupi. Kekuatanku melemah, dan maut akan menjemputku. Aku masih menyimpan segudang dosa yang aku tidak mengetahuinya. Allah lah yang maha mengetahuinya. Baik tersembunyi, maupun yang terang-terangan.”

Bait-bait diatas aku dapatkan dari seorang Pak Tua yang berkerja sebagai cleaning serves di asrama kami. Aku dan kebanyakan ekhwah memanggilnya "Syaikh", selain panggilan itu memang layak untuk diberikan kepada orang tua seperti dia, karena orang Mesir biasanya memberikan panggilan ini kepada orang yang dianggap terhormat dan juga karena memang sudah terlihat renta. Dia bilang padaku, ini adalah kasidah Imam Ali ra.

Aku terbilang orang yang sering bertatap muka dengannya. Sebabnya, tak heran kalau aku juga sering menyelingi ketika Ia berkerja dan kebetulan aku lagi libur atau belum berangkat kuliah untuk sekedar bercerita tentang Mesir yang terkenal dengan Al-Azhar, Piramid dan sungai Nilnya.

Bait-bait diatas membawaku terus mengingat Pak Tua itu. Terus dan berlanjut mungkin hingga aku angkat kaki dari 'Bumi Para Nabi' kelak. Ia telah tenggelam dalam cinta-Nya. Ia memang seperti seorang musafir yang tengah meramu bekal. Sebagaimana dalam bait-bait kasidah yang selalu Ia ulang.

Dia sangat ramah. Santun dan tekun. Meski ditengah musim dingin di Mesir yang menggigil, yang terkenal lebih panjang dari musim panas, apalagi musim semi dan gugur Ia tetap tampak tegap mengayun langkah menaiki anak-anak tangga asrama kami menuju lorong-lorong tempat Ia berkerja setiap harinya, selain hari Jum'at. "alasyan igazah" alias cuti. Begitu kata orang Mesir, yang gajinya tak seberapa.

Asrama kami yang juga tampak sudah berumur, seumur dengan Pak Tua itu. Dinding-dindingnya sudah terlihat amat lusuh dan rupuh, semacam mau roboh seoalah menjadi lahan subur bagi Pak Tua ini. Ia tampak begitu menikmati pekerjaannya. Ia juga pernah bercerita padaku pada suatu hari, bahwa dia tidak sendiri. Dia punya istri dan anak-anak yang sedang dibangku sekolah dan kuliah.

Ditengah deru keadaan yang menghimpit Ia pun tak segan-segan memegang jati dirinya sebagai seorang muslim. Dari menjalankan kewajiban hingga perkara-perkara sunnah. Ia selalu enteng berucap salam ketika bertemu. Disamping itu diwajahnya masih tetap terukir cahaya bersih. Senyumnya selalu mengembang. Tangannya yang kasar akibat setiap hari berperang dengan ombak-ombak kecil dilorong-lorong asrama pun tak segan Ia angkat untuk sekedar berjabat tangan dengan siapapun yang Ia jumpai. Benar-benar pak tua yang tahu diri. Yang sangat mengerti dengan keadaannya yang semakin renta dan lemah.

Pak Tua, Kau begitu tegar terlihat. Teguh dan tegap. Kau tidak merasa seperti yang mungkin dirasakan segelintir kita. Seakan malu menonjolkan sosoknya sebagai insan yang telah bersyahadat. Malah sebaliknya, segelintir mereka lebih doyan dan tergila-gila dengan budaya-budaya luar Islam. Melariskan produk-produk mereka. Dari cara berpakaian, bermuamalah hingga dalam dunia seni dsb. Sementara, produk-produk kita nyaris terabaikan. Syi'ar Islam itu sudah seperti sangat terbelakang dan primitif dianggap segelintir kita. Semoga romantika seperti ini cukup hingga disini.


Sebuah pekerjaan tidak menjadi penghalang untuk Ia terus meningkatkan kualitas ibadah. Tidak sedikit dari teman-teman asrama yang ikut kagum dengannya. Sejauh yang aku tahu Ia tidak pernah absen shalat berjama’ah di masjid. Bahkan Ia selalu terlihat sudah duduk di shaf terdepan. Padahal, pekerjaannya sebagai cleaning serves cukup berat. Ia terlihat begitu berhati-hati dan bersahaja. Ia tampak tahu betul bahwa kehidupan keseluruhannya adalah amanah. Meski sebagian orang menganggapnya remeh. Apalagi ditempat kerja misalnya, tak ada yang mengontrol. Atau apalah upayanya sehingga ia menganggap bahwa dia sedang bersendiri, tak ada yang mengamati.

Yang penting tak absen and gaji jalan terus. Soal kualitas, dan nilai ibadah itu nomor sekian. Sementara ia lupa bahwa dalam hidup ini ada yang namanya 'keberkahan'. Yang lahir dari sebuah keikhlasan. Yang membuat sebuah pekerjaan menjadi sangat berarti. Harta yang diperoleh, meski hanya cukup makan, namun terasa cukup puas dan nikmat. Sehingga dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: ”Ya Allah...berikanlah keberkahan untuk umatku di waktu paginya.”

Kemudian dengan niat yang tulus itu terekspresi pula dalam sebuah pekerjaan dan tindak-tanduknya. Inilah yang tampak dari seorang Syaikh asal Mesir ini. Keikhlasannya tampak ketika Ia berkerja. Sementara itu ibadahnya pun tidak terabaikan. Ia masih saja seperti darah muda yang segar. Semangat ukhrowinya terlihat lebih mendominasi. Syaikh barangkali sudah memahami dalam-dalam makna sabda Rasulullah Saw: ”dunia adalah penjara bagi seorang Mukmin dan syurga bagi seorang Kafir” dibanding aku.

Syaikh dengan tingkahnya yang selalu mengajakku berpikir telah membawaku ikut tenggelam sebagai seorang pemuda yang kuat. Aku yang selalu lengah dengan berbagai permata dunia. Warisan modernisasi dengan gemerlapannya. Aku yang sering tak sadar ketika selalu menghabiskan waktu mengamati dua kubu yang sedang berlaga merebut sebuah benda bundar bernama bola itu. Aku terkadang sadar bahwa hari masih pagi. Tapi, terkadang kesadaran tak lebih dari sekedar pengisi angan-kosong. Aku lupa bahwa hari tak selamanya pagi. Suatu saat aku akan seperti Pak Tua itu.

Ia seakan mengajak kita kembali menelaah makna hadis Rasul Saw:”Tidak beranjak kaki seorang hamba diakherat nanti hingga ia ditanya tentang empat perkara; tentang umurnya pada apa ia habiskan, masa mudanya apa yang ia perbuat, hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan dan ilmunya apa yang ia perbuat dengannya”

Masa muda tak seluruhnya identik dengan 'merdeka'. Ada PR buat kita semua untuk ikut serta mempertahankan ‘izzah Islam. Demikian juga yang usianya sudah senja. Masih tersisa tanggungjawab besar untuk menjadi murabbi terbaik bagi cikal-bakal generasi umat kedepan. Karena masadepan umat itu tercermin dalam tingkah dan cara bagaimana generasi ini diwarnai dan mewarnai.

Semoga tak terlepas erat tangan-tangan kita untuk terus bersama, pegang teguh bangunan peradaban Islam yang telah berdiri sejak berabad-abad lamanya. Jika modernisasi itu memang ada itu bukan berarti tamadun Islam itu lantas roboh. Dan kemudian beralih kiblat kepada segala sesuatu yang berbau Barat. Karena itu semua bukanlah sebuah kemajuan menurut prespektif Islam yang sebenarnya..

Pak Tua itu hanyalah sebuah perjalanan rohani yang pernah kutemukan. The sweet memory-ku disaat pernah belajar di 'Negeri Seribu Menara'. Selain itu, Ia juga seakan mengajak kita (khususnya kaum muda) untuk kembali mengingat perkataan Ibnu Umar ra;"apabila kamu dipagi hari, maka jangan tunggu sore dan apabila di sore hari maka jangan tunggu pagi.."

“Safari ba’iid wazdaadi la yuballighuni…”


Kairo, Madinatul Buuts Islamiyah, 1 April 2009

CINTA ADALAH ....

09.36 Edit This 0 Comments »
Cinta adalah
Kerinduan

Cinta adalah
Hati yang gundah gelisah

Cinta adalah
derita karena rindu membara

Cinta adalah
kasih yang tulus

Cinta adalah
perasaan yang sangat dahaga

(Ibnul Qayyim Al Jauziyyah)

Ketika Asa Berbuah Nyata

08.46 Edit This 0 Comments »
oleh: Ginanjar Cahya Komara

Harapan, mimpi, atau - yang lebih iritnya - asa. Itulah hal yang mutlak dimiliki oleh siapa pun yang tidak mau dibilang orang paling miskin. Setidaknya menurut Bapak Menegpora kita. Rasanya memang aneh jika hidup tanpa punya impian. Terlepas dari impian jangka pendek atau jangka panjang, besar atau kecil, untuk diri sendiri atau orang lain, keluarga, bangsa, atau pun dunia. Tapi seberapa besar dampak impian atau asa terhadap kehidupan seseorang?
Teringat kisah Qarun dengan hartanya yang melimpah. Awalnya Qarun adalah seorang yang miskin, namun saleh dan rajin beribadah. Dia merupakan salah satu pengikut Nabi Musa. Suatu ketika Qarun meminta Nabi Musa untuk mendoakannya agar Allah memberikan harta yang berlimpah, dengan alasan agar dia dapat lebih khusyu beribadah. Singkat cerita, Qarun dianugerahi harta yang banyak dan berlimpah. Apa yang terjadi? Bukannya bertambah saleh dan rajin beribadah, Qarun malah sombong dan semakin menjauh dari Allah. Tidak mau Qarun mengeluarkan zakat, terhadap Nabi Musa pun sudah semakin menentang. Akhir cerita, Qarun lenyap ditelan bumi lengkap bersama hartanya yang berlimpah.
Di belahan bumi lain pada waktu yang berbeda, ada sepasang suami istri yang baru saja merajut indahnya pernikahan. Mereka berdua saling mencintai, seolah tak mau berpisah barang sedetik pun. Hari-hari dilalui bagai sepasang kekasih yang memadu cinta dengan kegembiraan, canda tawa, kemesraan, dan kehangatan. Obrolan serta perencanaan seputar anak tak pernah lepas menjadi buah bibir keduanya, yang semakin lama semakin menguatkan cinta diantara mereka. Mereka sangat mendambakan kehadiran buah hati mereka yang pertama, kedua, dan seterusnya.
Setiap hari sang suami selalu membopong sang istri di tangannya, membawanya dari kamar ke pintu depan rumah, mencium keningnya, sebelum akhirnya bertolak mencari nafkah. Menjelang senja sang istri selalu setia menanti kepulangan sang suami di ruang tamu, seolah sang suami sudah tak pulang berbulan-bulan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Tak terasa sudah 11 tahun mereka menikah. Kehidupan mereka telah berubah menjadi semakin mapan, dengan rumah dan mobil mewah. Sang suami sudah menjadi salah satu pengusaha sukses di negerinya. Sang istri memiliki butik yang dikenal sampai ke mancanegara. Hanya satu hal yang tak berubah. Penghuni rumah mereka tak kunjung bertambah.
Berbagai cara telah dilakukan demi terwujudnya keinginan memiliki anak. Namun tak ada satu pun yang membuahkan hasil. Sang suami mulai uring-uringan, tak jarang mengacuhkan sang istri. Dia menyalahkan istrinya yang tak mampu memberinya anak. Sebaliknya sang istri menuduh suaminya yang mandul. Kini hari-hari mereka dilalui dengan dingin. Pertengkaran demi pertengkaran menghiasi rumah mereka yang laksana istana. Tak ada lagi bopongan sang suami sebelum bekerja. Tak ada lagi sang istri yang menyambut kepulangan sang suami. Akhirnya, pernikahan mereka berujung di pengadilan agama dengan perceraian.
Lain cerita lagi, ada seorang pemuda tampan yang masih duduk di bangku kuliah. Pemuda ini sangat ingin memiliki sebuah mobil, seperti teman-temannya yang lain. Setiap hari dia hanya dapat memandang iri teman-temannya yang datang dan pergi ke kampus mengendarai mobil. Sedangkan dia, untuk mencapai kampusnya, harus rela berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain. Berdesak-desakan di bus bersama penumpang yang lain. Berebut tempat di angkot, sampai kejar-kejaran dengan kereta. Namun keinginannya memiliki mobil ini tak pernah dijembatani dengan usaha untuk meraihnya, sekalipun dengan mengatakannya pada orang lain. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.
Suatu malam, sang pemuda baru saja pulang ke rumahnya. Terkejut didapatinya sebuah mobil terparkir rapi di garasi rumahnya, tepat di samping mobil sedan milik ayahnya. Mobil itu cantik dan masih baru. Catnya masih mulus mengkilap. Jok mobilnya masih rapat terbungkus plastik. Masa berakhir plat nomornya masih 5 tahun dari sekarang. Segera si pemuda bergegas ke dalam rumah, mencari sosok ayahnya dan bertanya mobil siapa itu. Dengan seuntai senyum sang ayah menjawab, "Itu mobil untukmu, Nak..". Betapa senang pemuda tersebut. Begitu senangnya sampai malam itu tak dapat ia memejamkan mata, tak sabar menunggu hari esok untuk segera menjajal mobil barunya. Kini si pemuda telah menjalani hari-harinya bersama mobil barunya. Tak ada lagi berdesakan di bus, berebut angkot, atau pun kejar-kejaran dengan kereta.
Suatu ketika, Si pemuda pergi ke rumah temannya. Tak lupa ia membawa serta tunggangan barunya. Diparkirnya mobil di pinggir jalan, tepat di depan rumah temannya. Cukup lama si pemuda berada di rumah temannya, bersenda gurau sambil bermain game. Tak lama kemudian si pemuda pamit pulang. Alangkah terkejutnya ketika ia tak mendapati mobilnya berada di tempat di mana seharusnya mobilnya berada. Mobilnya hilang! Ada orang yang mengambilnya, dan pemuda itu tak tahu siapa, kapan, dan bagaimana orang itu mengambil mobilnya.
Begitulah, berbagai fenomena dapat terjadi yang semuanya bermula dari sebuah asa. Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan ketika asa berbuah nyata, atau sebaliknya?

http://ginanjarck.web.id/

Optimis akan Jaminan Rezeki dari Allah

08.35 Edit This 0 Comments »
oleh Muhammad Rizqon

Ahmad adalah seorang bapak sederhana yang memiliki kehidupan pas-pasan. Profesi dan keahliannya adalah sebagai tukang/mandor dalam pekerjaan pembangunan/perbaikan rumah. Sudah beberapa bulan ini, Ahmad belum memiliki pekerjaan/proyek yang bisa dihandalkan. Kondisi ekonomi dunia yang memburuk, berimbas pada penurunan daya beli masyarakat termasuk daya beli untuk membeli, membangun, atau memperbaiki rumah tinggal. Karena kondisi itulah, praktis beliau kini banyak menghabiskan hari-harinya di rumah. Hanya sekali-kali Ahmad mendapatkan proyek perbaikan rumah tinggal, itu pun tidak bernilai signifikan.
Meski tidak sedang menangani pekerjaan, bukan berarti beliau tidak memiliki kesibukan. Selaku hamba yang memiliki kesadaran sosial, ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan dakwah di lingkungannya. Dalam setiap kegiatan --baik itu berkaitan dengan peringatan hari besar Islam seperti pembagian zakat atau peyembelihan hewan kurban, atau kegiatan sosial lainnya seperti santunan yatim piatu/dhuafa, bakti sosial, pengobatan gratis, penjualan sembako murah dan pakaian layak pakai--beliau sering kali berpartisipasi aktif menyukseskan kegiatan tersebut. Jiwa kerelawanan (volunteer) seakan telah melekat pada diri beliau.
Isterinya, Ibu Kutik, adalah ibu rumah tangga biasa yang hanya tamatan SD. Namun demikian, sebagaimana suaminya, beliau pun banyak berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan dakwah di lingkungannya. Bahkan beliau sering dilibatkan dalam koordinasi kegiatan bersama dengan pengurus inti organisasi selevel ranting atau cabang. Keterbatasan pendidikan tidak menjadikannya minder untuk bergabung dengan rekan sejawat yang sarjana. Jiwa kerelawanan itulah yang menjadi motor penggerak mobilitas diri beliau. Dan sesungguhnya, jiwa inilah yang dibutuhkan oleh organisasi yang menggulirkan program sosial dan dakwah di lingkungannya tersebut agar setiap program yang digulirkan bisa diapplikasikan dengan sukses.
Beberapa hari yang lalu, Ibu Kutik melahirkan anaknya yang ke-4. Cukup surprise karena baru kali itulah beliau melahirkan seorang bayi laki-laki. Tentu anugerah ini menjadikan mereka merasa sangat berbahagia. Rasa syukur begitu melimpah atas persalinan Ibu Kutik yang teramat mudah di ruang bersalin Puskesmas Pondok Gede dekat rumah tinggalnya.
Selang beberapa hari kemudian, beliau menelpon kami meminta sebuah nama untuk bayinya. Sebenarnya kami bukanlah orang yang pandai dalam merangkai sebuah nama. Namun agaknya mereka cukup menghormati kami sehingga untuk pemberian sebuah nama pun mereka meminta dari kami. Kami pun berusaha menggembirakan dengan pemberian nama yang menurut kami cukup indah dan bermakna. Untuk anak mereka sebelumnya (anak ke-3), kami memberi nama “Muti’ah” dengan harapan agar ia menjadi muslimah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk bayi laki-laki kali ini kami memberikan nama yang cukup sederhana yaitu "Mahmud Abdurrazaq". Mahmud yang berarti terpuji, adalah nama pemberian isteri saya. Sedangkan Abdurrazaq yang berarti hamba dari (Allah) Sang Maha Pemberi Rezeki, adalah nama pemberian dari saya. Harapan yang terkandung dari nama itu adalah agar ia menjadi hamba Allah yang terpuji (baik di langit dan di bumi) dan menjadi hamba/abdi dari Tuhan yang Maha Pemberi Rezeki, bukan hamba/abdi dari Tuhan selain-Nya.
Ada latar belakang yang mendasari kenapa saya memberi nama “Abdurrazaq” kepada si bayi laki-laki itu. Ingatan saya terbayang pada respon pertama dari Ibu Kutik saat mengetahui bahwa dirinya ternyata hamil. Beliau merasa tidak bergairah dan seakan-akan kehamilannya itu adalah kehamilan yang tidak beliau harapkan. Beliau khawatir tidak mampu memelihara si bayi dengan kondisi ekonomi beliau dan suami yang pas-pasan. Namun Alhamdulillah, ibu-ibu sejawatnya termasuk isteri saya, memberikan appresiasi positif dan menguatkan optimisme akan jaminan rezeki dari-Nya.
Dengan memberi nama “Abdurrazaq”, saya ingin menanamkan sebuah kesadaran bahwa bayi yang dilahirkan beliau tersebut adalah pemberian dari Sang Maha Pemberi Rezeki. Seharusnyalah beliau tiada pernah takut akan pemeliharaan dari-Nya. Allah yang berkehendak, tentulah Dia yang menjamin rezekinya. Dalam kondisi buruk sekalipun seperti krisis ekonomi global yang melanda dunia kini, sifat Allah yang Maha Kaya dan Maha Pemberi Rezeki itu tidak akan berubah dan berkurang sedikitpun. Oleh karenanya, kelahiran bayi tersebut sepatutnya tidak dianggap sebagai beban. Sebaliknya, optimisme harus selalu dibangkitkan karena bersama beban yang timbul, maka Allah SWT telah menyiapkan rezeki sebagai sarana untuk memenuhi beban atau tanggung jawab tersebut.
---Membangkitkan optimisme akan jaminan rezeki Allah SWT rasanya perlu juga saya sampaikan terhadap seorang sahabat yang juga diliputi kegamangan dan pesimisme akan jaminan rezeki. Baru-baru ini dia membulatkan tekad mengambil kredit mobil keluarga yang selama ini diidam-idamkan. Bukan untuk kemewahan, tetapi untuk memperlancar usahanya.
Ia diliputi keraguan karena beragam pendapat negatif yang muncul dipermukaan. Ada yang berpendapat bahwa sangatlah rugi jika harus membeli mobil dengan cara kredit, karena selain terkena suku bunga yang cukup tinggi, juga akan kehilangan opportunity return dari uang angsuran yang semestinya bisa diputar untuk modal usaha atau investasi.
Ada juga yang berpandangan, sangatlah tidak tepat mengambil kredit mobil di tengah kondisi krisis dan suku bunga yang masih tinggi. Besar angsuran yang harus ditanggung setiap bulan sebagai konsekuensi pengambilan kredit mobil itu, bukanlah jumlah yang kecil. Terlebih tenor waktunya 48 bulan atau 4 tahun. Dibutuhkan daya tahan yang cukup untuk bisa membayar uang cicilan itu hingga lunas.
Belum jika dikalkulasi, ternyata jumlah angsuran setiap bulannya itu lebih dari 30% total pendapatan, tidak memenuhi syarat sebagaimana direkomendasikan oleh konsultan perencana keuangan keluarga.
Pendapat yang menyejukkan akhirnya ia dapatkan dari seorang sahabat dan seorang anggota keluarganya. Seorang sahabat mengatakan bahwa jika memang pada akhirnya kredit mobil itu jadi diambil, maka itu adalah rezeki. Janganlah dipandang sebagai beban. Pertimbangan panjang yang berakhir pada keputusan membeli mobil (secara kredit) itu mengandung isyarat bahwa bersama dengan pengambilan kredit mobil, Insya Allah akan terbuka aliran rezeki guna menutupi beban cicilan tersebut. Allah tidak akan memberikan beban di luar kesanggupan seorang hamba.
Sedangkan seorang anggota keluarganya malah memuji keberaniannya mengambil kredit mobil itu. Ia menandaskan, yang penting niatnya bukanlah untuk gagah-gagahan. Peruntukkannya jelas seperti untuk mengembangkan usaha atau memudahkan mobilitas kegiatan. Untuk kalangan pebisnis, mengambil kredit mobil adalah hal yang lazim, karena mobil adalah sarana penunjang bisnis yang cukup bisa dihandalkan dan bisa menjadi barang investasi yang menguntungkan. Bagi yang tidak memiliki cukup uang tunai, membeli mobil secara kredit adalah pilihan yang rasional dan wajar.
Saya pun setuju dan menguatkan dengan saran-saran yang membangun optimisme tersebut. Memiliki anak baru atau mobil kredit baru, bagi sebagian orang memang dianggap sebagai beban. Namun bagi sebagian yang lain, merupakan rezeki yang harus disyukuri. Keyakinan apakah kondisi tersebut merupakan beban ataukah rezeki, sangat berkait dengan proses kemunculannya dan kondisi keimanan saat kemunculan tersebut.
Ibu Kutik sama sekali tidak menduga bahwa dirinya bakal hamil. Beliau sadar bahwa anak ketiganya masih relatif kecil dan “belum siap” memiliki adik. Sumber penghasilan suaminya pun sangat pas-pasan. Beliau telah berusaha “menjaga diri” agar tidak timbul kahamilan. Namun ternyata beliau hamil juga. Jika memang demikian adanya, tentu Allah SWT telah berkenan menyiapkan rezeki untuk sang bayi tersebut. Terbukti kemudian, sang bayi pun tersebut lahir dengan selamat dan Ahmad mampu membeli dua kambing untuk aqiqahan dari upah mengerjakan proyek sebulan terakhir ini.
Sahabat saya pun tidak menduga bakal ditawari paket kredit mobil keluarga oleh marketing executive sebuah dealer mobil. Sempat timbul niatan untuk membatalkan pemesanan setelah ia memberikan tanda jadi satu juta rupiah kepada dealer tersebut. Namun entah kenapa pada detik-detik terakhir, sahabat tersebut mengiyakan anjuran-anjuran yang dikemukakan oleh marketing executive yang terlihat jujur itu. Dia tidak ingat apa-apa selain ingat akan keluasan Allah atas rezeki yang dimiliki-Nya dan harapan agar Allah memudahkan pembayaran angsurannya ke depan sebagaimana Allah memudahkannya mendapatkan mobil itu ready stock tanpa harus meng-indent terlebih dahulu. Padahal biasanya untuk pemesanan mobil tersebut harus indent minimal tiga bulan sebelumnya. Dia berhusnudzon, boleh jadi inilah cara Allah menganugerahinya kemudahan memiliki mobil yang sudah lama diidamkan.
Ya. Dalam setiap kondisi, kita memang harus ingat bahwa Allah adalah Pemberi Rezeki yang Maha Adil. Tidak sepantasnyalah kita berputus-asa, kecuali bagi orang-orang yang suka melakukan dosa. Bagi orang-orang senantiasa memohon ampun dan bertaubat, Allah SWT senantiasa memberikan karunia rezeki-Nya sebagaimana firman-Nya;
maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? (QS 71: 10-13).
Dua kejadian tersebut di atas cukup memberi hikmah bahwa kita tidak perlu ragu dengan jaminan rezeki dari Allah sang Pemberi Rezeki. Bukan berarti saya menganjurkan untuk bersantai-santai dan yakin saja dengan jaminan Allah itu. Sepanjang kita telah berusaha secara optimal dan selalu mengerahkan daya untuk mencapai kondisi yang lebih baik dalam koridor ketaatan kepada-Nya, maka janganlah sekali-kali menganggap bahwa apa yang kita hadapi adalah sebagai beban. Persepsi demikian akan membangun pesimisme yang justru kontraproduktif terhadap kemudahan datangnya rezeki. Anggaplah ia sebagai rezeki. Pada satu sisi, Insya Allah ini akan berdampak pada semangat penjemputan rezeki, dan pada sisi lainnya, Allah akan memudahkan jalan untuk menggapai rezeki yang dijanjikan-Nya itu.


Wallahu’alam bishshawaab
rizqon_ak@eramuslim.com
muhammadrizqon'site

Demi Menjaga Mata dan Hati Kita

14.26 Edit This 1 Comment »
Suatu kali, masih dalam suasana lebaran, Hamid dan istrinya diundang Rozi datang ke rumahnya. Setelah disepakati, akhirnya mereka datang pada hari Kamis setelah ashar. Rozi tinggal di kawasan Hay Tsamin, sedangkan Hamid tinggal di bilangan Hay `Asyir. Perjalanan dari Hay `Asyir ke Hay Tsamin hanya memakan waktu lebih kurang seperempat jam dengan mengendarai mobil.
Rozi dikenal sebagai seorang aktifis. Ia baru menyempurnakan setengah agamanya beberapa waktu yang lalu. Istrinya adalah rekan kerjanya disebuah organisasi yang pernah ia geluti. Rozi termasuk salah seorang figur yang dikenal luas dikalangan mahasiswa. Walau selalu menjadi Top Leaders dibeberapa organisasi yang pernah ia terjuni, ia juga termasuk mahasiswa yang berprestasi dibangku kuliah.
Tak heran banyak mahasiswi yang melirik padanya. Tapi Rozi bukan tipe cowok matre, ia punya prinsip dalam menentukan pilihan hidup. Baginya kecantikan bukanlah prioritas, yang paling utama adalah akhlak dan agama.
Sedangkan Hamid tak jauh berbeda dengan Rozi, ia juga seorang aktifis. Aktifitas Hamid lebih banyak dalam pergerakan dakwah. Ia juga termasuk figur dikalangan mahasiswa. Namanya sering tampil pada deretan teratas dalam setiap organisasi yang ia geluti. Hamid adalah seorang pribadi yang penuh hati-hati. Sebelum melangkah ia akan berpikir dua kali.
Hamid dan Rozi telah lama menjalin persahabatan sejak di Indonesia. Namun belakangan sejak mereka tiba di Mesir, mereka memilih aktifitas yang berbeda sehingga diantara mereka pun timbul perbedaan manhaj berfikir. Walau demikian, mereka tetap akur dan saling menghargai pandangan masing-masing. Persahabatan mereka tetap terjaga.
Rozi dan istrinya punya pikiran yang seirama. Dan karenanya mereka pun memadu cinta yang terbina dalam bingkai pernikahan. Risa, istri Rozi dikenal seorang akfitis di Kairo. Tulisan-tulisannya menyebar di buletin mahasiswa. Ide-idenya yang segar selalu mendapat respon positif dari pembaca. Selain cerdas, Risa juga seorang yang jelita. Ia bahkan jadi rebutan para mahasiswa, tapi sayang, cinta mereka tidak bersambut, buah cinta Risa jatuh pada Rozi. Rozi dan Risa memang pasangan yang serasi, sama-sama pintar, sama-sama gagah dan cantik dan sama-sama jadi rebutan.
Rima istrinya Hamid, juga dikenal seorang aktifis dikalangan mahasiswi. Dalam beberapa kesempatan ia sering diminta tampil memberikan materi dalam acara bedah buku, dialog, diskusi, kajian, seminar dan lain-lainnya.
Hamid dan Rima adalah pasangan yang serasi, sama-sama aktifis pergerakan dakwah dan punya komitmen yang sama. Mereka juga sama-sama punya daya tarik bagi lawan jenis. Hamid dengan perawakan tenang dan air muka yang selalu berseri, enak di pandang mata, cerdas dan taat. Sedangkan Rima, adalah wanita anggun dengan sikap penuh keibuan dan kasih sayang.
Kita kembali ke cerita awal, sesampai di depan pintu rumah Rozi, Hamid dan istrinya dipersilahkan masuk menuju ruang tamu. Di ruang tamu Risa telah menunggu kedatangan mereka.
Hamid dan Rima agak berat kaki melangkah menuju ruang tamu, mereka masih berdiri di depan pintu.
Rozi bertanya pada Hamid, "Ada apa Akhi ?"
Hamid menjawab, "Nanti akan saya jelaskan pada Akhi, saya minta istri kita di ruang dalam dan kita berdua di ruang tamu".
Rozi pun menyetujui dan ia tidak merasa keberatan. Mereka berdua duduk diruang tamu. Saling berbagi cerita dan pengalaman sambil menikmati makanan dan minuman yang telah dihidangkan Rozi.
Akhirnya rasa penasaran yang bergejolak dalam hati Rozi ingin segera ditumpahkan, ia bertanya pada Hamid, "Akhi, apa yang menjadi alasan Akhi sehingga antara kita dengan istri kita berpisah ruangan? Coba Akhi jelaskan alasan yang Akhi miliki"
Hamid hanya tersenyum, kemudian berkata, "Hanya ingin jaga mata dan hati kita".
"Hanya sebatas itu?", Rozi bertanya sambil mengernyitkan keningnya.
"Iya", jawab Hamid sambil kembali tersenyum.
Hamid melanjutkan, "Akhi, kita sudah sama-sama pernah belajar, sudah sama-sama tahu bahwa Allah telah perintahkan laki-laki yang beriman dan wanita-wanita yang beriman untuk selalu menjaga, menahan dan menundukkan pandangan mereka dari melihat segala sesuatu yang diharamkan Allah dan dari segala sesuatu yang akan dapat membangkitkan syahwat, karena itu lebih menyucikan hati.
Pandangan adalah umpama anak panah beracun dari syetan yang akan mengotori dan meracuni hati kita. Semakin sering mata melihat pada sesuatu yang akan mengotori hati, maka akan berkurang dan hilanglah lezatnya iman dalam hati dan nikmatnya beribadah.
Apa yang akan terjadi, kalau kita sama-sama duduk diruangan ini dengan istri-istri kita?
Kita tetap berbaik sangka, kita mungkin bisa saling menjaga, namun kita tidak tahu apa yang terjadi dalam hati. Dan mencegah lebih baik dari mengobati. Sebelum syetan lebih dulu menjerat kita dengan tipuannya, seorang mukmin harus lebih dahulu tahu akan hal itu.
Kalau kita duduk saling berhadapan, saya duduk dengan istri saya dan akhi duduk dengan istri akhi. Kemudian kita saling mengobrol, saling memandang, saling tertawa dan tersenyum. Bisa jadi terbersit dalam hati istri akhi ketika melihat saya rasa tertarik pada paras saya, senyum saya, mendengar suara saya dan seterusnya. Kemudian ia coba bandingkan antara saya dengan diri akhi yang telah ia kenal luar-dalam segala kekurangan dan kelemahan akhi. Dan ia menemukan ada daya tarik dari diri saya yang ia sukai tapi tidak ia temukan dalam diri akhi. Mungkin akan timbul sedikit penyesalan dalam hatinya, kenapa ia dahulu cepat-cepat menikah, sedangkan pria dihadapannya, lebih ganteng, lebih sopan, lebih manis senyumnya, lebih indah suaranya, lebih kekar tubuhnya, lebih pintar dan segalanya.
Apakah akhi ingin keadaan tersebut menimpa istri akhi? Tentu tidak bukan?! Begitu juga dengan saya, saya juga sangat cemburu bila istri saya punya perhatian dan daya tarik pada lelaki lain, saya ingin istri saya hanya milik saya seutuhnya.
Sebagaimana saya dan akhi tidak ingin hal itu terjadi pada istri-istri kita, istri-istri kitapun juga tidak ingin dihati suaminya ada wanita-wanita lain yang lebih membuatnya tertarik. Kalau kita saling bertemu, akhi melihat istri saya, rupanya ada sisi daya tarik yang akhi temukan pada dirinya, akhi bandingkan dengan istri akhi, yang mungkin suaranya kurang indah, kata-katanya kurang manis terdengar, budi bahasanya kurang elok dan lain-lainnya, singkatnya segala hal yang akhi dambakan, tapi tidak akhi temukan hal tersebut pada diri istri akhi. Barangkali syetan akan membisikkan dihati akhi rasa penyesalan, ah.., kenapa saya menikah terlalu cepat dahulunya, rupanya masih banyak wanita yang lebih jelita, anggun, dan cerdas dari istri saya saat ini. Dan hal itu juga mungkin bisa terjadi pada diri saya.
Apa yang saya utarakan hanya sebagai contoh, agar kita lebih berhati-hati dalam setiap perbuatan kita, jangan sampai kita memberi peluang pada syetan dan hawa nafsu untuk mencelakakan diri kita. Seorang mukmin harus cerdas.
Saya berbaik sangka, dugaan-dugaan diatas mungkin tidak akan terjadi diantara kita, tapi kita tidak bisa menjamin seutuhnya bahwa kita bisa selamat dari keadaan itu. Mungkin hari ini kita bisa tejaga, tapi kita tidak tahu dengan esok, lusa dan seterusnya. Jadi pada intinya mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Disamping itu saya ingin istri saya menjadi bidadari di dunia sebelum menjadi bidadari di sorga. Diantara karakteristik bidadari sorga adalah 'Qashiratut tharfi', maksudnya adalah ia hanya melihat, mamandang pada suaminya. Tidak ada pria yang ia kenal selain suaminya. Dan tidak ada pria yang lebih gagah dan ia cintai selain suaminya. Betapa indahnya hubungan tersebut.
Apa yang saya sampaikan hanyalah pandangan saya yang mungkin salah dan mungkin juga benar. Tapi inilah yang saya pahami selama pembelajaran saya sampai saat ini. Mungkin terkesan agak fundamental dikalangan sebagian orang, tapi mempertahankan agama di zaman yang fitnah telah tersebar dimana-mana ibarat memegang bara api".
Rozi tertegun mendengar penjelasan Hamid, ia manggut-manggut tanda setuju. Sejak saat itu kehidupan Rozi mulai berubah juga keadaan istrinya. Iapun nampak lebih alim. Kalau dahulu ia selalu gesit dalam kegiatan yang didalamnya ada ikhtilath dengan lawan jenis, sekarang semua itu berusaha ia hindari. Ketika ditanya kenapa ia berobah, ia menjawab "Saya telah bertobat".
* * *
Betapa berharganya seorang sahabat yang soleh. Sahabat yang tak ragu menyampaikan kebenaran. Sahabat yang melandasi persahabatan atas dasar ketaatan pada Allah. Sungguh beruntung orang-orang yang selalu mengambil manfaat dari sahabat yang soleh dan amat merugilah mereka yang mengabaikan keberadan mereka.

Salam dari Kairo,
marif_assalman@yahoo.com

www.eramuslim.com